rencana revisi dua peraturan itu diduga melanggar ketentuan Undang-undang | PT Rifan Financindo Berjangka PusatOmbudsman menyarankan kepada Presiden Joko Widodo untuk menunda pengesahan rancangan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tengang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. "Namun demikian perlu dibatasi untuk dibatasi pada wilayah yang kurang atau tidak terlayani sebagaimana juga dilakukan di berbagai negara untuk menjaga persaingan usaha yang sehat,” ujar salah satu anggota komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih, melalui keterangan resminya. Dia menilai, Kementerian Komunikasi dan Informatika tak melibatkan pihak masyarakat, khususnya operator telekomunikasi mengenai rencana tersebut. Menurut lembaga ini, revisi aturan ini yang salah satunya menerapkan kebijakan berbagi spektrum dan jaringan untuk mendorong efisiensi memang bagus untuk diterapkan. Selain itu juga, Ombudsman melihat rencana revisi dua peraturan itu diduga melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terutama pasal 96 mengenai partisipasi masyarakat. “Rencana revisi berbagi jaringan dan frekuensi ini juga bertentangan dengan UU nomor 39 tahun 1999 tentang Telekimunikasi,” tambahnya. Alamsyah juga mensinyalir ada upaya memberikan pembenaran bahwa pelaksanaan peraturan tersebut akan menghemat devisa negara hingga US$ 200 miliar atau setara Rp 2,6 triliun. Dari beberapa landasan itu jugalah, Ombudsman itu perlu menyampaikan saran kepada Presiden Jokowi agar menunda revisi peraturan pemerintah nomor 52 dan nomor 53 tersebut. Sebab menurutnya, nilai tambah (PDB) sektor telekomunikasi tahun 2015 saja hanya mencapai Rp 406 triliun. Tentu saja perhitungan angka tersebut dianggap tak relevan dan menyesatkan. Ombudsman: Revisi PP 52 dan 53 Telekomunikasi Cacat Prosedur | PT Rifan Financindo Berjangka Pusat Anggota Ombudsman Alamsyah Saragih menyampaikan saran kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk menunda pengesahan rancangan PP 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, yang menyangkut soal Network Sharing (berbagi jaringan) dan Interkoneksi. Saran yang disampaikan oleh Ombudsman ini sebagaimana diatur pada pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI. Pertama, menyampaikan saran kepada presiden, kepala daerah, atau pimpinan penyelenggara negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik. Alamsyah memahami, keinginan pemerintah untuk menerapkan kebijakan berbagi spektrum dan jaringan (spectrum and network sharing) dalam industri telekomunikasi untuk mendorong efisiensi. Dalam pasal tersebut, Ombudsman mempunyai kewenangan yang menyangkut tentang publik. Setidaknya Alamasyah mengatakan Ombudsman ada dua kewenangan. Kedua, menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Daerah dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepada daerah agar undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah mala-administrasi. "Namun, perlu dibatasi pada wilayah-wilayah yang kurang atau tidak terlayani sebagaimana juga dilakukan di berbagai negara untuk menjaga persaingan usaha yang sehat dan keadilan dalam pelayanan," ucap Alamsyah, dalam keterangannya, Kamis, 20 Oktober 2016. "Pada siaran pers yang diterbitkan oleh Kementerian Kominfo tanggal 16 Oktober 2016 dituliskan bahwa telah ada koordinasi dengan kementerian terkait. Namun demikian, tidak dijelaskan adanya upaya melibatkan masyarakat, khususnya operator telekomunikasi," jelasnya. Saran penundaan kepada presiden oleh Ombudsman ini dikarenakan diduga rancangan PP tersebut melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, terutama pasal 96 mengenai partisipasi masyarakat. Alamsyah mengatakan, penyampaian saran ini berdasarkan kecermatan dan aduan dari masyarakat. Ombudsman juga menilai revisi kedua PP itu bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Dengan demikian, Ombudsman berpendapat perlu segera dilakukan perubahan UU agar revisi PP tidak bertentangan dalam hal substansi. "Ombudsman menilai pernyataan tersebut tak disertai informasi cara perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga berpotensi menciptakan penyesatan informasi kepada publik," ucapnya. Selain itu, Ombudsman mensinyalir ada upaya pembenaran pelaksanaan PP hasil revisi ini akan menghemat devisa negara hingga US$200 miliar (lebih kurang RP2.644 triliun). Menanggapi hal itu, Alamsyah mengatakan, perhitungan ini cukup janggal mengingat nilai tambah (PDB) sektor telekomunikasi Indonesia pada 2015 hanya Rp406,9 triliun. "Dengan mempertimbangkan berbagai hal di atas, Ombudsman telah menyampaikan saran kepada Presiden RI untuk menunda revisi PP 52/2000 dan 53/2000 dan mempercepat pengusulan draf revisi UU Telekomunikasi ke DPR," kata Alamsyah. Alamsyah menegaskan, dengan demikian revisi PP 52/2000 dan 53/2000 berisiko cacat prosedur, cacat substansi, dan tidak didukung dengan dasar perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan. Presiden disarankan menunda pengesahan revisi PP Telekomunikasi | PT Rifan Financindo Berjangka Pusat “Ombudsman melakukan ini sesuai dengan kewenangan yang kami miliki di UU No 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia," kata Komisoner Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih dalam keterangan tertulisnya, Kamis (20/10). Ombudsman juga melihat rencana revisi kedua PP tersebut melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terutama pasal 96 mengenai partisipasi masyarakat. Diingatkannya, rencana revisi kedua PP tersebut yang memperbolehkan terjadinya berbagi jaringan dan frekuensi bertentangan dengan UU No 39 tahun 1999 tentang telekomunikasi. "Ombudsman berpendapat perlu segera direvisi dulu UU Telekomunikasi agar perubahan PP tidak bertentangan dalam hal substansi," katanya. Ombudsman RI mengaku telah menyampaikan saran kepada Presiden Republik Indonesia (RI) untuk menunda pengesahan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Dikatakannya, Ombudsman memahami keinginan pemerintah untuk mengijinkan terjadinya berbagi jaringan (Network Sharing), tetapi sebaiknya dilakukan di daerah-daerah yang kurang terlayani sebagaimana terjadi di negara lain. "Dalam siaran pers yang diterbitkan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada 16 Oktober 2016 dikatakan ada koordinasi dengan kementrian terkait, tetapi tak ada dijelaskan upaya melibatkan masyarakat," katanya. "Setelah mencermati, menelaah, dan mempertimbangkan, kami melihat revisi kedua PP ini cacat prosedur, cacat substansi, dan tidak didukung cara perhitungan yang bisa dipertanggungjawabkan. Karena itu kita berikan saran ke Presiden untuk menunda pengesahan revisi dan mempercepat pengusulan draft revisi UU Telekomunikasi," tutupnya. Selain itu Ombudmsan juga mensinyalir ada upaya memberikan pembenaran bahwa revisi PP akan menghasilkan penghematan devisi US$ 200 miliar atau kurang lebih Rp2.644 triliun. Perhitungan ini janggal mengingat nilai tambah (PDB) sektor telekomunikasi pada 2015 hanya mencapai Rp 406.9 triliun. "Kami melihat pernyataan tersebut tak disertai informasi cara perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga berpotensi menciptakan penyesatan informasi kepada publik," katanya. Rifanfinancindo
0 Comments
Leave a Reply. |
PT Rifanfinancindo Berjangka
PT Rifan Financindo Berjangka Profil Perusahaan Legalitas Penghargaan Perusahaan Fasilitas dan Layanan Archives
June 2018
PT Rifan Financindo Berjangka
|