Model kemitraan ini lebih "win-win solution" bagi petani dan industri | PT Rifan Financindo Berjangka Pusat Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Panggah Susanto menuturkan, rencana ini akan diajukan seiring dengan program redistribusi lahan. Dalam model kemitraan yang baru ini, pemilikan lahan oleh koperasi petani akan berkurang menjadi 70 persen, dari sebelumnya 80 persen. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) kini tengah merampungkan proposal model kemitraan baru untuk petani dan industri sawit yaitu dengan sharing atau pembagian kepemilikan Pabrik Kelapa Sawit ( PKS). Sebaliknya, pemilikan lahan industri akan meningkat dari 20 persen menjadi 30 persen. Akan tetapi, sebagai kompensasi penurunan porsi lahan, koperasi petani akan memiliki saham PKS dengan skema joint venture sebesar 30 persen. Panggah mengatakan, rencana ini terkait dengan program redistribusi lahan. Saat ini ada 10,15 juta hektar lahan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang menjadi objek reformasi agraria. Seluas 3,45 juta hektar diantaranya belum berizin atau bersertifikasi. "Kita akan mengajukan proposal, bagaimana redistribusi ini bisa kita kerjakan dan kelola berkesinambungan," kata Panggah. Sebaliknya, pemilikan lahan industri akan meningkat dari 20 persen menjadi 30 persen. Akan tetapi, sebagai kompensasi penurunan porsi lahan, koperasi petani akan memiliki saham PKS dengan skema joint venture sebesar 30 persen. "Bagaimana teknisnya nanti, menyangkut sertifikasi tanah, modal kerja, dan lain-lain akan diatur. Sehingga menjadi kemitraan yang berkelanjutan," kata Panggah dalam workshop Forum Wartawan Perindustrian di Surabaya, Senin (17/4/2017). Perusahaan sebagai "bapak angkat" petani berperan sebagai avalis perbankan (KUR) dan pendamping operasional. KUR yang diharapkan diberikan ke petani adalah KUR Tani dengan suku bunga 5-6 persen. Ia menyebut, model kemitraan yang baru ini lebih "win-win solution" bagi petani dan industri. Rencanannya, nantinya lahan HPK yang belum berizin itu akan disertifikasi oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) atas nama koperasi dan perusahaan. Sertifikat tersebut dapat dijaminkan ke bank, tetapi tidak boleh diperjualbelikan, dan hanya boleh diwariskan. Mendag: Jangan Sampai Jadi Perang Dagang | PT Rifan Financindo Berjangka Pusat Pemerintah Indonesia akan menggandeng Malaysia dalam menghadapi hasil resolusi parlemen Uni Eropa (UE) untuk menerapkan prinsip kerja sama dagang yang sehat. Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengatakan, hal tersebut berkaitan dengan resolusi dan pelarangan biodiesel berbasis sawit, karena dinilai masih menciptakan banyak masalah lingkungan. “Bahwa kami keberatan. Kita sudah melalukan upaya sustainable, seperti ISPO, SLVK, dan sebagainya,” ujar Enggar di Kementerian Perdagangan, Senin (17/4). Menurut Enggartiasto, resolusi tersebut bakal mengganggu hubungan dagang antara Indonesia dan Uni Eropa. Padahal selama ini pangsa pasar sawit Indonesia dan Malaysia menguasai sekitar 85 persen pasar sawit di dunia. Dia menambahkan, jangan sampai hasil resolusi ini malah menimbulkan perang dagang. Yakni pelarangan masuknya barang dari negara lain. “Kalau terjadi retaliation (pembalasan), apakah ini bukan perang dagang. Anda minta jangan perang dagang, tapi Anda memulai ini. Benar-benar ingatkan pada parlemen Eropa, kalau mau benar-benar dagang tanpa double standard, kami sudah mulai dengan ISPO. Kayu pun mereka terapkan (standar) SLVK (untuk produk hutan), tapi tidak semua. Parlemen kami pun bisa lalukan hal yang sama,” tandasnya. Sebelumnya, Parlemen Uni Eropa menilai, sawit di Indonesia masih menciptakan banyak masalah mulai dari deforestasi, korupsi, pekerja anak-anak, sampai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Indonesia, oleh mereka bahkan dilarang untuk mengekspor sawit dan biodiesel ke negara lain Dia menganggap, keputusan parlemen Uni Eropa tidak adil, lantaran dalam industri minyak nabati di wilayah tersebut, proses produksinya tidak jauh berbeda dengan produksi minyak sawit di Indonesia. Sehingga jika minyak sawit masih dipermasalahkan dengan adanya resolusi tersebut, maka bisa dianggap Uni Eropa menerapkan prinsip dagang yang tidak sehat, karena hanya ingin produk minyak nabati dalam negara-negaranya saja yang bisa diperdagangkan. “Kami akan secara aktif menuntut seluruh dunia, seluruh vegetable oil, memiliki standar yang sama. Pemerintah tidak main-main, begitupun dengan pengusaha. Untuk itu kami akan hadapi dengan segala akses, termasuk menggandeng Malaysia yang mengalami persoalan serupa,” ucap Enggar. Sikapi Resolusi Sawit, Indonesia Baiknya Tunjukkan dengan Keseriusan Berbenah | PT Rifan Financindo Berjangka Pusat Resolusi Sawit Parlemen Eropa, baru-baru ini cukup bikin heboh. Pemerintah Indonesia, pun terkesan emosional dalam menyikapi resolusi yang menyebutkan sawit jadi penyebab deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia. ”Kalau menganggap itu perang dagang, sangat kontra produktif. Kita seharusnya bukan men-counter isi resolusi, tetapi menyampaikan kesungguhan pemerintah Indonesia yang sedang memperbaiki tata kelola kehutanan dan sawit,” kata Abdul Wahid Situmorang, Penasihat Teknis United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia kepada Mongabay, pekan lalu. Di dalam negeri, katanya, sedang perbaikan lewat sawit berkelanjutan secara bertahap. Eropa ingin cepat dan aksi nyata. ”Dokumen semacam ini sebenarnya bukan kali ini, sudah sejak lama juga kami berikan alarm, namun direspon lamban dan membutuhkan proses panjang,” katanya. Wahid bilang, persoalan sawit memang tak dapat cepat selesai karena sangat rumit terutama tingkat tapak. Dia tak menampik, kemungkinan ada perang dagang antara minyak sawit dan produk subsitusi lain seperti bunga matahari. Terpenting, katanya, pemerintah UE tak sabar melihat perkembangan tata kelola Indonesia. Hal ini, katanya, dorongan dari konsumen maupun pengiat lingkungan di sana. Para pihak sawit Indonesia, seperti pemerintah, pengusaha, pekebun, LSM dan akademisi harus mendorong pengembangan sawit transparan dan betanggung-gugat (accountable). Transisi hutan jadi sawit, melewati berbagai cara. Ada dari hutan ke pembalakan tak lestari oleh HPH, kemudian ke pembalakan liar, setelah rusak jadi sawit. Ada juga hutan ditebang untuk perkebunan sawit. “Ini saya saksikan sendiri di hutan lindung di Riau,” katanya. Herry bilang, degradasi hutan tak sama dengan deforestasi. Degradasi bisa diperbaiki jadi hutan lewat pembenahan dan restorasi ekosistem. Deforestasi, katanya, mengganti hutan dengan bukan hutan seperti kebun sawit, yang tak akan lagi jadi hutan. Soal deforestasi legal di hutan produksi konversi, katanya, lewat ketetapan pemerintah untuk alih fungsi hutan ke bukan hutan. Secara hukum boleh walaupun saya sering tak setuju. Deforestasi ilegal melanggar hukum dan semua norma. “Saya zero-toleran pada semua deforestasi ilegal. Harusnya kebun sawit dikembangkan di areal tak berhutan dan legal untuk perkebunan.” Dia sedang simulasi rantai pasok sawit Indonesia. Herry menemukan terjadi kelebihan kapasitas pabrik kelapa sawit dan kilang sawit. Kebutuhan tandan buah segar dan CPO/palm kernel oil mesti terpenuhi baik sumber legal maupun ilegal. “Ini salah satu penggerak langsung deforestasi Indonesia. Akar masalah deforestasi adalah jeleknya tata kelola lahan hutan dan lahan. Tata kelola lahan jelek, keuntungan tinggi dari bisnis sawit membuat sawit dikembangkan legal dan llegal, bahkan lewat pembakaran lahan dan hutan. Karhutla 2015 nyata untuk pengembangan kebun sawit yang membawa kerugian Rp 230 triliun. Sri Mariati, dari Conservation International memaparkan riset berjudul “Model harmonisasi ruang antara konservasi dan produksi di kawasan hutan Tesso Nilo.”. Dia menganalisis deforestasi di Tesso Nilo, HPH PT. Siak Raya Timber dan HPH PT. Hutani Sola Lestari– bagian kelompok hutan Tesso Nilo terdiri dari Kabupaten Pelalawan, Kampar dan Kuantan Sengingi. Pemerintah, yakni, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perekonomian seharusnya jadi tonggak mengeluarkan pernyataan baik dalam maupun luar negeri. ”Diplomasi terpenting, dalam negeri, dengan langkah-langkah perbaikan selama ini dan dipercepat. Serta membuktikan kinerja yang telah dilakukan,” katanya. Dia contohkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang menata sawit melalui real time monitoring, kinerja Badan Restorasi Gambut– yang Resolusi Sawit mendapat apresiasi– perlu ada kinerja lebih nyata, penegakan hukum dan implementasi aturan di lapangan. ”Perbaikan tingkat tapak paling dibutuhkan. Tindakan lapangan perlu ditingkatkan atas opini yang sudah terbentuk di UE. Ada aksi, tak hanya omongan.” Berbicara komoditas apapun, katanya, usaha perkebunan kala skala luas akan berdampak ekologi. Terpenting, benar secara sosial, lingkungan, dan berdasarkan hukum. ”Konversi ke minyak lain, sama, tak akan menyelesaikan masalah jika kita mengabaikan hal terpenting itu,” katanya. Guru Besar Manajemen Hutan IPB Herry Purnomo bilang, soal resolusi yang menyebutkan perkebunan sawit penyebab deforestasi bisa berlatar belakang berbagai kepentingan. Ada yang berkepentingan melestarikan hutan dan lingkungan dunia, namun tak menutup mata ada motif-motif persaingan bisnis global antara sawit dengan minyak nabati lain. Namun, katanya, perlu diingat UUD 1945 mengamanatkan pembangunan berkelanjutan. “Kita harus jadikan sustainable advantage sebagai visi pengembangan sawit Indonesia.” Luar negeri, katanya, juga mesti memahami Indonesia negara berkembang, masih banyak harus dibenahi, termasuk tata ruang. “Saya terus menginginkan peran konstruktif dunia internasional dalam perkelapasawitan Indonesia seperti pada bidang kehutanan dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dan lisensi Forest Law Enforcement, Governance and Trade yang bekerja sama dengan Uni Eropa,” katanya. Rifanfinancindo Categories
0 Comments
Leave a Reply. |
PT Rifanfinancindo Berjangka
PT Rifan Financindo Berjangka Profil Perusahaan Legalitas Penghargaan Perusahaan Fasilitas dan Layanan Archives
June 2018
PT Rifan Financindo Berjangka
|