Dalam sembilan bulan Trump akan menyesuaikan kondisi pasar global | PT Rifan Financindo Berjangka Jakarta STCPengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia, Chatib Basri mengungkapkan, ia tidak begitu percaya bahwa Trump akan menerapkan kebijakan perdagangan yang terlalu proteksionis dan konservatif, seperti yang dibicarakan saat kampanye lalu. Trump secara perlahan akan berpikir lebih realistis sebagai Presiden AS. Chatib menuturkan, baliknya arus modal dari negara berkembang dalam beberapa waktu terakhir akibat dari persepsi pelaku pasar yang terpaku pada kebijakan proteksionisme, konservatif, dan ekspansi belanja akan benar-benar dilakukan Trump. Langkah presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump yang akan proteksionisme pada kebijakan perdagangan, diperkirakan melunak dalam sembilan bulan pemerintahannya. Presiden terpilih dari Partai Republik tersebut, dipastikan akan berpikir realistis, karena menyesuaikan kondisi pasar global. "Saya tidak pernah percaya, apa yang disampaikan dalam kampanye (politik)," kata dia di Kempinski Ballroom Jakarta, Rabu 16 November 2016. Hal ini, lanjut mantan menteri keuangan ini sangat penting, sebab AS merupakan negara konsumen dan negara pembeli terbesar di dunia, selain Tiongkok dan Eropa. Perlambatan ekonomi yang sedang menerpa Tiongkok dan Eropa, juga terus menjatuhkan volume perdagangan mereka. "Tahun ini perdagangan dunia lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi global. AS jadi protektif, maka negara emerging market, atau negara berkembang tidak bisa suplai dan mengandalkan ekspor," tuturnya. Dengan demikian, jika Trump benar-benar akan menerapkan kebijakan proteksionisme dalam perdagangan, perdagangan global akan semakin terpukul. Padahal, dalam beberapa tahun terakhir, perdagangan global sudah jatuh dan memperlemah pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Adapun dampak dari proteksionisme itu ke Indonesia tentu saja ada, di mana Chatib memperkirakan, pangsa pasar ekspor akan berkurang, sehingga kontribusi ekonomi global akan semakin lesu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. Selain itu, lanjutnya, jika Trump juga menerapkan belanja fiskal yang ekspansif, akan terdapat kecenderungan pelarian arus modal ke negara Paman Sam, karena bunga instrumen di pasar keuangan negara tersebut akan menarik. "Negara di Eropa masih menjalankan suku bunga negatif. Jepang juga suku bunganya minus 0,12 persen. Tidak ada tempat yang lebih baik di antara tempat yang buruk sekarang ini, selain Indonesia," ujarnya. Namun, pelarian arus modal dari Indonesia ke AS, tidak akan besar. Sebab, Indonesia masih dipandang sebagai negara yang paling atraktif dan memiliki fundamental ekonomi yang kuat, sehingga tetap menjadi primadona bagi investor. Chatib Basri: Waspadai Suku Bunga AS Era Donald Trump | PT Rifan Financindo Berjangka Jakarta STc Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyebutkan, Indonesia perlu mewaspadai potensi kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/The Fed) di era kepemimpinan Donald Trump. Bendahara negara di era pemerintahan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu bilang, potensi kenaikan The Fed kian besar bila Trump sukses menjalankan ekspansi fiskal dengan memotong pajak dan meningkatkan belanja AS. "Saya melihat sepertinya The Fed tidak menaikkan suku bunga di akhir Desember. Tapi kalau Trump betul-betul menjalankan (kebijakannya), membuat suku bunga (berpotensi) meningkat," ungkap Chatib dalam UOB Economic Outlook, Rabu (16/11). Selain itu, bila pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) AS ke-45 dari Partai Republik tersebut berhasil menjalankan kebijakan proteksi perdagangan, bukan tidak mungkin kian memberi sentimen negatif bagi Indonesia dari sektor perdagangan. "Pembeli terbesar di dunia adalah AS, Uni Eropa, dan China. Uni Eropa dan China punya masalah, ada perlambatan, sekarang AS juga akan menerapkan proteksi. Maka perdagangan dunia akan menurun bahkan lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi global," kata Chatib. Adapun, kenaikan suku bunga The Fed tentu memberikan imbas bagi posisi rupiah terhadap dolar AS. Pasalnya, proteksi perdagangan AS berpotensi melemahkan kinerja perdagangan global, termasuk Indonesia yang selama ini memiliki nilai perdagangan yang tinggi dengan AS. "Singapura, China, Korea, Jepang, itu semua negara industrialisasi, ruangnya tertutup," imbuh Chatib. Oleh karena itu, Indonesia sendiri juga masih memiliki waktu untuk mengubah peta tujuan ekspor dan menggenjot sektor lain untuk menggerakkan roda perekonomian. Dampak proteksi perdagangan AS akan membuat negara-negara yang selama ini melakukan ekspor ke AS menjadi turun nilai ekspornya. Namun begitu, Chatib meramalkan, setidaknya Trump membutuhkan waktu sekitar sembilan bulan untuk menunjukkan hasil pengelolaannya dibidang ekonomi. Ini 2 Rencana Trump yang Jadi Sorotan Serius | PT Rifan Financindo Berjangka Jakarta STc Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) telah selesai dengan nama pemenang, Donald Trump. Akan tetapi drama masih berlanjut hingga sekarang, sebab investor masih menunggu implementasi kebijakan yang sudah disuarakan oleh Trump saat kampanye. Chatib melihat, ada risiko yang dikhawatirkan oleh investor. Pemangkasan tarif akan membuat penerimaan pajak turun. Bila belanja digenjot lebih besar, artinya defisit anggaran melebar. Pemerintah AS harus menarik utang yang besar untuk menutupi belanja. Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, menyatakan dua kebijakan utama Trump menjadi sorotan serius. Pertama tentang pemangkasan tarif pajak, sebagai upaya untuk mendorong perekonomian negara menjadi lebih cepat. Kondisi tersebut akan menimbulkan sedikit gejolak di pasar keuangan. Likuiditas akan kembali ke AS, dan mendorong penguatan yang cukup siginifikan pada dolar Amerika Serikat (AS). Sementara mata uang di banyak negara akan melemah, termasuk rupiah. "Itu nantinya harus dibiayai oleh obligasi. Permintaan obliogasi yang meningkat akan membuat tingkat bunga AS akan naik," ujar Chatib, saat acara UOB-Indonesia Economic Outlook 2017 di Hotel Kempinski, Jakarta, Rabu (16/11/2016). Kebijakan kedua adalah terkait dengan perdagangan. Trump cenderung menuju ke arah proteksionis, setelah mengetahui perdagangan yang terjadi selama ini antara AS dengan banyak negara tidak adil. "Kalau AS tidak mau beli, lalu siapa yang akan membeli barang China yang begitu melimpah," paparnya. "Likuiditas akan kembali ke AS. dan mata uang di banyak negara termasuk rupiah akan mengalami tekanan dalam medium term," terang Chatib. Chatib menilai kebijakan tersebut berbahaya. Untuk pertama kali, pertumbuhan perdagangan dunia lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi. Di mana China menjadi negara pemasok barang terbesar di dunia. Bila kemudian AS menjadi proteksionis, maka China akan kehilangan pasar. "Fenomena Brexit, Trump dan yang lainnya ini menunjukkan resistensi dalam globalisasi. Kalau trade begitu sulit, maka ada risiko perdagangan global menyusut," tandasnya. Negara berkembang tidak cukup kuat untuk terus menampung barang impor. Sebab ini membuat ekonomi negara tersebut, khususnya untuk industri akan semakin lemah. Orientasi ekspor tidak bisa diharapkan lagi, Rifan Financindo
0 Comments
Leave a Reply. |
PT Rifanfinancindo Berjangka
PT Rifan Financindo Berjangka Profil Perusahaan Legalitas Penghargaan Perusahaan Fasilitas dan Layanan Archives
June 2018
PT Rifan Financindo Berjangka
|