Industri dalam negeri mengeluhkan tingginya harga gas bumi | PT Rifan Financindo Berjangka Pusat Data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, di Medan, ada sekitar 45 industri besar yang membeli gas bumi dari PT Perusahaan Gas Negara (PGN) sebesar USD 12,22 per MMBTU. Harga gas bumi ke industri di Medan, Sumatera Utara, yang mencapai USD 12,22 per MMBTU. Padahal menurut data Kementerian Perindustrian, harga gas di Singapura hanya sekitar USD 4,5 per MMBTU, Malaysia USD 4,47 per MMBTU, dan Filipina USD 5,43 per MMBTU. Industri dalam negeri mengeluhkan tingginya harga gas bumi dibandingkan negara tetangga seperti Singapura. Harga gas untuk industri di Tanah Air saat ini mencapai sekitar USD 12 per MMBTU ( Million Metric British Thermal Unit). Harga ini jauh lebih mahal dibanding negara ASEAN lainnya seperti Singapura. Padahal, Indonesia selama ini merupakan negara eksportir gas. Dari data yang ada, PGN mengutip biaya kecil yakni USD 1,35 per MMBTU. Biaya tersebut diambil atas pengelolaan dan pendistribusian gas bumi melalui pipa sepanjang 600 km hingga sampai ke industri di Medan. Namun, harga ke industri tetap mahal. Lalu, bagaimana rincian harga gas di Industri khususnya di Medan? Berikut rinciannya dari data Kementerian ESDM. Untuk sumber pertama dari LNG Bontang, LNG tersebut merupakan alokasi gas yang ditetapkan Kementerian ESDM dan SKK Migas untuk industri di Medan. Harganya US$ 7,8 per MMBTU. Hampir 63 persen komposisi harga gas ke industri di Medan berasal dari harga gas di hulu. Artinya harga gas bumi ke industri sejak awal sudah mahal. Pertama, pasokan gas ke industri di Medan terbagi atas dua sumber yakni dari LNG dari Kilang LNG Bontang, Kalimantan Timur dan Sumut pipa gas dari Pertamina EP di Sumatera. Kedua, LNG dari Bontang tersebut kemudian di regasifikasi di Terminal Regasifikasi Arun, Lhokseumawe, Aceh. Biaya proses regasifikasi atau menjadikan gas alam cair jadi gas bumi dikenakan USD 1,5 per MMBTU. Lalu ditambah dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yakni USD 0,15 per MMBTU, jadi total US$ 1,65 per MMBTU. Ketiga, gas bumi dari Terminal Regasifikasi Arun diangkut melalui pipa trasmisi Arun-Belawan milik PT Pertamina Gas (Pertagas) sepanjang 350 km. Pertagas mengenakan biaya angkut gas sebesar USD 2,53 per MMBTU dan ditambah PPN sebesar USD 0,25 per MMBTU, sehingga total USD 2,78 per MMBTU. Keempat, setelah dari Pertagas, gas bumi tersebut harus melalui perusahaan trader gas. Perusahaan ini tidak memiliki fasilitas pipa sama sekali. Trader gas tak bermodal fasilitas ini memungut biaya margin sebesar USD 0,3 per MMBTU. Tak cukup sampai disitu, trader gas tak bermodal ini juga mengenakan Own Used & Boil Off Gas (BOG) sebesar USD 0,65 per MMBTU serta Cost of Money sebesar USD 0,27 per MMBTU. Total, trader tak bermodal tersebut memungut USD 1,55 per MMBTU. Lalu, trader gas tak bermodal ini mengenakan lagi biaya yang namanya Gross Heating Value (GHV) Losses sebesar USD 0,33 per MMBTU. Dengan dua sumber gas tersebut di campur menjadi satu, lalu dibagi volume gas masing-masing pasokan, maka harga rata-rata gas bumi sebelum dibeli oleh PGN sebesar USD 10,87 per MMBTU. Kemudian oleh PGN diteruskan ke pelanggan industrinya dengan biaya yang dikenakan USD 1,35 per MMBTU. Sehingga ujungnya industri-industri di Medan membeli gas bumi dengan harga US$ 12,22 per MMBTU. Lalu, sumber gas dari produksi Pertamina EP dikenakan USD 8,24 per MMBTU, kemudian diangkut melalui pipa transmisi gas bumi Pangkalan Susu-Wampu yang dikelola Pertaggas dengan biaya USD 0,92 per MMBTU termasuk pajak. Tuh Kan, Harga Gas Industri Mahal sejak Hulu | PT Rifan Financindo Berjangka Pusat Anggota Komisi VII Kurtubi menilai titik kunci persoalan harga gas industri berada pada revisi UU Migas yang lebih bersahabat dengan industri dalam negeri. Revisi UU ditargetkan selesai akhir tahun ini. ’’Kalau belum selesai juga, pemerintah harus menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang,’’ tuturnya. Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Syamsir Abduh menuturkan, ada potensi turunnya harga gas. Salah satu caranya, menghilangkan pedagang perantara atau trader tanpa infrastruktur. Selain itu, perlu didirikan badan usaha yang mengurus hulu hingga hilir sehingga hingga bisa mengurangi bagian pemerintah dari bagi hasil migas. ’’Untuk lapangan gas yang mature, pemerintah lebih baik mendorong KKKS menurunkan harga gas karena sudah mencapai nilai keekonomian,’’ katanya. Tingginya harga gas industri hingga kini belum bisa diatasi dengan Perpres No 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Pemerintah menilai rantai distribusi yang panjang menjadi penyebab utamanya. Alasan tersebut dinilai gegabah oleh pedagang perantara atau trader gas. BUMD Gresik Migas menilai tingginya harga gas industri disebabkan melambungnya harga gas dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Anggota Komisi VII Kurtubi menilai titik kunci persoalan harga gas industri berada pada revisi UU Migas yang lebih bersahabat dengan industri dalam negeri. Revisi UU ditargetkan selesai akhir tahun ini. ’’Kalau belum selesai juga, pemerintah harus menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang,’’ tuturnya. Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menilai harga gas di hulu perlu diperhatikan pemerintah. Bagi industri tekstil, harga gas yang murah menjadi tuntutan agar bisa bersaing di pasar internasional. ’’Kami ingin (harga gas, Red) ke depan bagaimana. Bukan hanya aturan (tentang insentif) yang berlaku mundur,’’ ujarnya. Dia menyatakan, proteksi bagi industri hulu migas dengan memberikan banyak insentif seharusnya bertujuan menurunkan harga gas di tingkat konsumen. Sebagai kompensasinya, pemerintah mendapat ganti dari pajak penghasilan, pemungutan ekspor, dan pajak pertambahan nilai. ’’Tidak masuk akal gas kita dijual ke luar negeri USD 4 per mmbtu. Tapi, di dalam negeri justru lebih mahal,’’ jelasnya. Menurut Dirut Gresik Migas Bukhari, harga gas yang dipatok operator mencapai USD 8 per mmbtu. Karena itu, harga gas tidak masuk akal jika ditekan menjadi USD 6 per mmbtu tanpa subsidi pemerintah. Dia mencontohkan harga gas West Madura Offshore (WMO) USD 7,9 per mmbtu. Untung, posisi Gresik tidak jauh dari Madura. Karena itu, harga jual dari Gresik Migas ke konsumen tidak terpaut jauh. ’’Kami hanya mengambil margin USD 0,5 sen per mmbtu sehingga harga jual gas jadi USD 8,4 per mmbtu,’’ kata Bukhari dalam diskusi di Gedung Dewan Pers akhir pekan lalu. Dia juga meminta pemerintah tidak menyudutkan trader sebagai biang mahalnya harga gas dengan menyebut hanya bermodal kertas. Bukhari menilai jumlah trader yang tidak membangun infrastruktur distribusi sangat sedikit sejak penerbitan Permen ESDM No 6 Tahun 2016. Trader modal kertas hanya bertahan hidup hingga kontrak berakhir. Harga gas industri memang ditentukan berdasar jarak antara konsumen dan KKKS. Dia mencontohkan, ada industri di Jawa Barat yang harus membayar USD 14 per mmbtu karena posisinya jauh dari jaringan pipa gas utama. ’’Kalau yang dekat pipa, hanya USD 11 per mmbtu,’’ ungkapnya. Karena harga gas di hulu tidak murah, upaya pemerintah untuk menekan harga di tingkat konsumen menjadi USD 5 per MMBTU seperti yang dipatok Singapura sangat sulit. ’’Tanpa ada pemain di hilir saja sudah mahal. Sebab, sumber gas dan lokasi konsumen jauh sekali. Itulah kenapa harga USD 10 per mmbtu di Sumatera masuk akal,’’ ucap Bukhari. Trader "Goreng" Gas | PT Rifan Financindo Berjangka Pusat Anggota DPR RI Komisi VII Kurtubi menyebutkan bahwa para calo alias trader yang tidak memiliki fasilitas penyaluran seperti pipa gas harus dihapus dalam rantai distribusi. Jangan sampai kelompok tersebut mendapatkan keuntungan dari apa yang tidak mereka kerjakan. "Saran saya langkah pertama menghilangkan titik-titik inefisiensi terdapat trader yang tidak punya infrastruktur atau yang hanya modal dengkul. Siapa pun orangnya harus dihapus dalam sistem keuntungan yang mereka serap jangan merugikan rakyat, merugikan kalangan industri," katanya. Selanjutnya, Komisi VII DPR RI akan melakukan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Distribusi migas nantinya harus langsung dari perusahaan migas yang memiliki fasilitas distribusi seperti pipa untuk menyalurkan gas. Sehingga harga beli gas oleh pelaku industri tidak lagi mahal."Intinya baik minyak atau gas tidak lewat perantara baik ekspor maupun impor luar negeri jangan lewat. Kalau gas milik negara langsung kepemilikannya PGN dan Pertamina untuk bisa membangun infrasuktur gas negara. Sehingga harga yang dibayar oleh konsumen itu nggak mahal. Tidak ada lagi peran trader ini," jelas Kurtubi. Dirinya menargetkan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas dapat selesai sebelum tahun 2017. Komisi VII DPR RI akan membahas revisi undang-undang migas tersebut di bulan ini."Targetnya tahun ini 2016 mudah-mudahan bulan ini Komisi VII akan membahas memfinalkan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001. 10 fraksi banyak pendapat-pendapat memang susah menyatukan mereka," ujar Kurtubi. Namun apabila revisi undang-undang tersebut belum selesai hingga akhir 2016, maka pemerintah diminta untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang perlu diajukan ke DPR RI. Trader gas asal Gresik bernama Bukhari membantah jika kelompoknya yang telah membuat harga gas melambung tinggi. Menurutnya, harga gas dari tingkat hulu sudah dirasakan tinggi mencapai US$ 8/mmbtu. Sehingga harga dari sejak awal ini lah yang membuat harga gas industri di Indonesia menjadi tinggi."Struktur harga saat ini sedari awal saja sejak berhubungan KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) di hulu sampai saat ini sudah berada US$ 8/mmbtu," jelas Bukhari dalam acara tersebut. Dirinya menambahkan bahwa keinginan pelaku industri terhadap harga gas yang berada di bawah US$ 6/mmbtu sangat sulit dipenuhi karena tingginya harga gas industri sudah terjadi sejak awal dipasarkan dari sumur bor ke tingkat distributor. "Sehingga kalau ekspektasi konsumen di bawah US$ 5- US$ 6/mmbtu sedari awal saja tanpa keberadaan pemain di hilir sudah terbantahkan. Bahwa sudah mahal sejak awal," kata Bukhari.Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Syamsir Abduh mengatakan, mahalnya harga gas industri di Indonesia dikarenakan panjangnya mata rantai distribusi gas dari sumur bor ke industri. Para trader "menggoreng" gas sehingga membuat harganya menjadi sangat mahal. "Mata rantai distribusi terlalu panjang. Ada 5 tingkat dari trader pertama, kedua dan seterusnya itu terlalu panjang," ujar Syamsir dalam sebuah diskusi di Hall Dewan Pers, Jakarta Pusat, Minggu (18/9). Diskusi dengan tema Energi Kita kali ini juga dihadiri oleh trader gas Bukhari, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi, dan Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara. Syamsir menyebut, karena dijual dari trader ke trader yang masing-masing mencari untung maka harga gas menjadi mahal saat tiba di tangan end user seperti pabrik pupuk, pabrik tekstil dan lainnya."Harga gas di Indonesia yang termahal di dunia. Padahal menghasilkan gas juga," sambungnya. Tingginya harga gas industri di Indonesia semakin tidak masuk akal. Dengan banyak daerah yang menghasilkan gas alam, harga jual gas industri di Indonesia lebih mahal daripada negara tetangga, misalnya di Singapura yang berada di kisaran US$ 6-US$ 8/mmbtu. Industri dalam negeri harus merogoh antara US$ 8-US$ 14/mmbtu untuk memperoleh gas. Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat menyebutkan gas untuk dikonsumsi di dalam negeri justru lebih mahal ketimbang harga gas untuk diekspor."Gas kita dijual ke dalam negeri lebih dari US$ 9/mmbtu, ke luar US$ 4/mmbtu. Ini dari zaman Pak SBY sudah dikeluhkan masalah energi," tuturnya. Ketegasan pemerintah dibutuhkan dalam menetapkan harga acuan gas industri agar kualitas produksi industri dalam negeri bisa semakin meningkat. Dengan harga gas industri yang murah, industri tidak perlu lagi menekan biaya produksi dan dapat menggunakan bahan baku yang lebih berkualitas. "Kebijakan energi dituntut pelaku industri dengan adanya hilirisasi. Sehingga pelaku industri memiliki daya saing dalam mengahadapi produk yang sama," ujar Ade. Menurutnya, tingginya harga gas turut berimbas terhadap naiknya harga komoditas yang diproduksi. Sehingga pemerintah dirasa perlu mencari jalan keluar untuk menekan harga gas industri yang mahal."Proses industrialisasi tidak bisa terlepas dari kebijakan energi suatu Negara," tutur Ade. Rifanfinancindo
0 Comments
Leave a Reply. |
PT Rifanfinancindo Berjangka
PT Rifan Financindo Berjangka Profil Perusahaan Legalitas Penghargaan Perusahaan Fasilitas dan Layanan Archives
June 2018
PT Rifan Financindo Berjangka
|