Sektor perbankan dalam negeri hanya mampu biayai 35 persen dari PDB | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Medan "Negeri ini tidak bisa hidup. Tidak bisa membangun, kalau tidak ada pembiayaan dari luar negeri," ungkap Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, saat ditemui di Kompleks BI Jakarta, Senin 24 Oktober 2016. Sedangkan dari sektor perbankan, terutama kredit, hanya mampu berkontribusi sebesar 32-35 persen, atau maksimal Rp4 ribu triliun terhadap total produk domestik bruto (PDB) nasional yang mencapai Rp11 ribu triliun. Angka PDB sendiri, setiap tahunnya mengalami kenaikan. "Sektor perbankan (negara-negara tetangga) mampu mendanai 100 persen dari PDB. Jadi, siapa yang mendanai ekonomi kita luar negeri?" ujarnya. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, pertumbuhan kredit perbankan mereka mampu berkontribusi terhadap PDB mencapai 80-100 persen. Dengan realita yang terjadi, maka pembangunan ekonomi Indonesia masih tetap bergantung pada asing. Bank Indonesia menyebutkan, Indonesia masih menggantungkan diri terhadap utang luar negeri dalam rangka membangun perekonomian bangsa. Tanpa ada bantuan utang, pembangunan ekonomi pun akan sulit dilakukan. Mirza menjelaskan, sampai saat ini utang luar negeri korporasi mencapai US$160 miliar. Sementara itu, utang luar negeri pemerintah mencapai US$140 miliar. Maka, hampir US$300 miliar pembiayaan bagi negeri ini berasal dari asing. "US$300 miliar, atau sekitar Rp4 ribu triliun (pembiayaan dari luar negeri). Sisanya, modal sendiri. Kredit perbankan tidak cukup," katanya. BI Izinkan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Medan SBK merupakan surat utang jangka pendek tanpa jaminan di pasar uang, yang diterbitkan oleh perusahaan terkenal ataupun lembaga keuangan, dengan jangka waktu antara dua sampai dengan 270 hari. Namun, nantinya dengan beleid aturan terbaru, jangka waktu SBK akan diperpanjang menjadi 360 hari. Aturan tersebut merupakan produk turunan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang pasar uang yang pernah diterbitkan tiga bulan lalu. "Saat ini karena ada kebutuhan terhadap modal kerja, selain dapat dari bank, korporasi juga bisa dapat dari Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Maka dengan adanya aturan SBK baru tersebut, korporasi non-bank bisa dapat pendanaan jangka pendek." Bank Indonesia (BI) akan segera menerbitkan peraturan yang mendukung perdagangan commercial paper atau Surat Berharga Komersial (SBK) di pasar uang. Hal ini dilakukan demi mendorong korporasi baik sektor keuangan maupun non keuangan untuk memanfaatkan sumber dana jangka pendek di luar fasilitas kredit perbankan. "Indonesia sampai saat ini bisa dibilang instrumen pasar uang masih sangat dangkal. Sedangkan kebutuhan korporasi dan lembaga keuangan non bank mencapai pendanaan cukup besar," ujar Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, Senin (24/10) Untuk menghindari kejadian tersebut berulang, otoritas akan mewajibkan korporasi sang penerbit SBK harus melewati tahap rating dari lembaga yang kredibel dan harus berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) serta wajib memiliki izin dari Bank Indonesia untuk kriteria penerbit surat berharga. Mirza mengatakan, sejak krisis keuangan tahun 1998 aktivitas penerbitan dan perdagangan SBK di pasar domestik menghilang secara perlahan. Pada saat itu tercatat ada Rp190 miliar SBK yang default (gagal bayar) milik beberapa perusahaan besar termasuk milik sejumlah perusahaan pelat merah. Untuk itu, saat ini BI tengah mengkaji lebih dalam mengenai penerbitan SBK sebagai kebutuhan pendanaan perseroan. Diharapkan PBI mengenai SBK di Indonesia dapat segera terbit dan dapat menjadi pilihan baru untuk pendanaan perseroan jangka pendek. "Berbeda dengan dulu sebelum 1998, dimana tidak ada kewajiban rating. Saat ini, dalam rangka melindungi kepentingan investor ranking itu perlu. Tapi investor pun perlu due diligence tak bisa hanya andalkan rating. Investor juga perlu menganalisa," katanya. Likuiditas Perbankan Rp 350 T Bisa Dipakai untuk Beli SBK | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Medan Bank Indonesia (BI) mencatat ada Rp 350 triliun likuiditas perbankan yang disimpan dalam instrumen jangka pendek BI. Dana tersebut nantinya bisa digunakan untuk membeli Surat Berharga Komersial (SBK) atau commercial paper dengan jangka waktu 360 hari atau satu tahun. Dengan membeli SBK, perbankan juga akan mendapatkan return atau imbal hasil dengan tingkat bunga yang kompetitif. Padahal kelebihan likuiditas tersebut bisa ditaruh ke dalam instrumen SBK untuk membiayai modal perseroan dalam melakukan ekspansi usahanya. Selama ini, perbankan masih sangat tergantung dengan menyimpan kelebihan likuiditasnya di BI tanpa mampu menggerakkan perekonomian di Indonesia. "Ada likuiditas di dalam negeri yang masih kembali ke BI sekitar Rp 300-Rp 350 triliun," ujar Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara dalam Seminar Surat Berharga Komersial di Gedung Kebon Sirih Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Senin (24/10/2016). SBK adalah surat berharga jangka pendek yang diterbitkan oleh perseroan dalam jangka waktu yang pendek. Dengan membeli SBK, perbankan dapat menaruh kelebihan likuiditasnya dalam jangka waktu satu tahun sekaligus mendanai perseroan yang membutuhkan permodalan. Akibatnya banyak perseroan yang mendapatkan tambahan modalnya dari pinjaman luar negeri. "Jadi bagi kami di BI ironi kalau kita melihat negeri masih perlu pendanaan dari luar negeri tapi masih ada likuiditas yang kembali ke BI. Lumayan Rp 300-350 triliun bisa dimanfaatkan sistem," tambah Mirza. "Padahal ekonominya perlu dana asing US$ 300 miliar tapi di BI Rp 350 triliun," kata Mirza. Rifanfinancindo
2 Comments
lady mia
2/17/2018 04:42:44 pm
KABAR BAIK!!!
Reply
Queen Lisa Efendi
4/22/2018 10:15:55 am
saudara-saudara
Reply
Leave a Reply. |
PT Rifanfinancindo Berjangka
PT Rifan Financindo Berjangka Profil Perusahaan Legalitas Penghargaan Perusahaan Fasilitas dan Layanan Archives
June 2018
PT Rifan Financindo Berjangka
|